Sabtu, 22 Januari 2011

Pengaruh KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia

Pada saat ini, istilah KKN sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus-kasus yang terjadi di negara ini yang mencerminkan tindakan dari KKN itu sendiri. KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)merupakan suatu permasalahan yang sangat krusial yang harus segera diselesaikan oleh para aparatur negara yang didukung oleh segenap masyarakat Indonesia, karena dampak yang ditimbulkan dari kkn tersebut bersifat menyeluruh dan merugikan seluruh masyarakat.
Kasus KKN di Indonesia tergolong cukup tinggi karena tidak hanya terjadi pada masyarakat tingkat atas tetapi masyarakat bawah pun seringkali melakukan apa yang disebut dengan istilah KKN. Hal ini yang menimbulkan suatu pemikiran, apakah saat ini KKN sudah menjadi budaya yang melekat dalam diri masyarakat Indonesia sehingga terjadinya KKN dilingkungan masyarakat sudah dianggap hal yang biasa?. Paragidma ini yang harus dihapus dari pemikiran masyarakat Indonesia, karena dengan dukungan seluruh masyarakat, praktek KKN yang terjadi akan segera dapat diatasi.
Praktek KKN yang sekarang sedang terjadi di negara kita, sangat berpengaruh terhadap perkembangan bisnis di Indonesia, karena KKN ini menyebabkan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin terpuruk. KKN ini dapat menghambat perkembangan perekonomian Indonesia karena pendapatan yang seharusnya diperoleh oleh negara menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dapat dicapai contohnya masalah mafia pajak Gayus Tambunan.
Menurut Theodore M. Smith, penyebab terjasinya KKN diantaranya gaji aparat birkrasi yang rendah, sikap mental yang rendah, buruknya kondisi ekonomi secara umum, administrasi lemah dan pengawasan yang kurang. Secara umum keempat penyebab tersebut saling berhubungan dan berpengaruh satu sama lain.
Bila dicermati dari penyebab tersebut, sikap mental masyarakat merupakan hal yang paling dominan menjadi penyebab terjadinya praktek KKN. Sikap mental yang rendah dan adanya kesempatan, KKN di Indonesia tidak akan pernah berakhir dan akan terus terjadi di Indonesia.
KKN merupakan permasalahan yang menyangkut aspek mendasar yaitu sikap mental bangsa Indonesia, maka masyarakat di negara ini harus dapat memperbaiki dan melakukan perubahan terhadap individu masing-masing untuk menjadi pribadi dan masyarakat antikorupsi.

Kamis, 20 Januari 2011

Analisa Hubungan Birokrasi Negara Maju dengan Negara Berkembang

Kata “birokrasi” dapat diartikan mengandung pengertian: (a) Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak liku-likunya, dan sebagainya.
Menurut Blau dan Meyer, birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administrasi dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan orang banyak secara sistematis.
Birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Pelaksanaan birokrasi setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara. Dengan begitu birokrasi di Negara maju tentu akan berbeda dengan birokrasi di Negara berkembang.

Birokrasi Negara Maju
Birokrasi negara maju akan menunjukan pada titik tertentu sebuah tingkat keprofesionalan yang tinggi, baik untuk mengidentifikasi maupun melayani berbagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Karena sistem politik di negara maju secara keseluruhan sudah stabil dan matang, serta birokrasi sudah sangat berkembang, maka peran birokrasi pada proses-proses politik sudah jelas dan teratur dan berada dibawah kontrol yang efektif dari lembaga-lembaga politik yang secara fungsional menangani hal tersebut.
Karakteristik birokrasi negara maju contohnya Jepang, yang menarik dan unik adalah adanya birokrat pemerintah nasional yang dapat “dipinjamkan” kepada pemerintah lokal yang dapat memberi kesempatan untuk saling bertikar pengalaman dan menjaga hubungan antara dua level pemerintah ini. Dalam hal perekrutan pegawai negeri sipil, perekrutan dalam institusi pelayanan pemerintah berdasarkan sistem ujian kompetitif atau dengan evaluasi personal. Dalam kepegawaian, PNS jepang menempati posisi profesional dan kelompok elit.
Kuatnya sistem kontrol dari sistem-sistem lainnya (hukum atau yudikatif, legislatif, dan sosial masyarakat dengan berbagai kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan dan juga partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan dan partai yang berkuasa untuk berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak kecil yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, dapat menjadi isu sosial dan isu politik yang besar, misalnya masalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran pendidikan atau masalah pelayanan sosial yang dianggap lambat, dan kasus suap yang dapat membawa ke pengadilan tidak saja pegawai yang menerima suap tetapi juga masyarakat yang memberikan suap tersebut.
Namun demikian, kelemahan-kelemahan tersebut akan dengan mudah diperbaiki oleh aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang peran dan fungsinya serta kesadaran untuk selalu mencari yang terbaik bagi sistem administrasi negaranya adalah merupakan salah satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah dan cepatnya dilakukan oleh negara-negara maju.

Birokrasi Negara Berkembang
Birokrasi di kebanyakan negara berkembang cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol karena orientasi dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.
Ciri dari birokrasi negara berkembang yaitu:
1. Administrasi publik bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik.
2. Birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi kuantitas.
3. Birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat.
4. Ditandai adanya formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi.
5. Birokrasi di negara berkembang bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. Dari sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah.
Di negara berkembang, keseragaman atau kesamaan bentuk susunan, jumlah unit, dan nama tiap unit birokrasi demikian menonjol dalam stuktur birokrasi pemerintah. Meskipun struktur birokrasi di negara berkembang sudah hirarkis, dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat sulit dilaksanakan. Dalam kenyataanya, segala keputusan sangat bergantung pada pimpinan tertinggi dalam birokrasi, sementara hubungan antar jenjang dalam birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.
Secara mendasar, jabatan fungsional akan berkembang dengan baik jika di dukung oleh rumusan tugas yang jelas serta spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan yang telah dirumuskan secara jelas pula. Selain itu, masih banyak lagi aspek-aspek lain yang menonjol dalam birokrasi di negara berkembang, diantaranya adalah perimbangan dalam pembagian penghasilan, yaitu selisih yang amat besar antara penghasilan pegawai pada jenjang tertinggi dan terendah.

Rabu, 01 Desember 2010

Pemilihan Kepala daerah

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia dilakukan secara langsung oleh warga Negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat. Kepala daerah yang memimpin provinsi disebut dengan gubernur, kabupaten dipimpin oleh bupati dan kota dipimpin oleh walikota. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Salah satu pilar demokrasi adalah keberadaan partai politik karena dalam pemilihan umum yang menjadi kunci bagi demokrasi tidak akan terselenggara tanpa keberadaan partai politik. partai politik idealnya berfungsi sebagai penyalur aspirasi politik, medium komunikasi dan sosialisasi politik, serta pengendali kontrol konflik yang terjadi pada masyarakat. Keberadaan partai politik dalam sebuah negara, selain sebagai instrumen utama untuk berkompetisi memperebutkan kekuasaan, diharapkan juga mampu menjadi artikulator dan aggregator kepentingan rakyat. Dimana, dianggap bahwa kepentingan dan aspirasi masyarakat yang beragam akan sia-sia jika tidak diakomodir bersama aspirasi senada dalam satu wadah yang dapat menampung kemudian menyalurkannya. Maka, eksistensi partai politik ditempatkan sebagai entitas perantara antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker).
Pemilihan Kepala daerah secara langsung akan menjadi medan pembuktian bagi partai politik untuk menunjukkan performa yang bagus untuk mendorong sifat rasionalitas pemilih menuju budaya politik demokratis, dan semoga kelak parpol bisa mengarahkan pemilih pada pertimbangan rasional, seperti kualifikasi track record, kapabilitas, dan program calon kepala daerah, dan tidak lagi partai politik primordial yang mendorong masyarakat memilih karena atas pertimbangan hubungan agama, suku, dan kesamaan budaya.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan partai politik, dalam rangka penguatan peran partai politik dalam kaitannya dengan Pilkada secara langsung antara lain: Pertama, hal yang mendasar yang harus dilakukan adalah perubahan paradigma, khususnya menyangkut peran partai politik dalam Pilkada. Partai politik harus melihat Pilkada secara langsung bukan semata-mata masalah proyeksi kekuasaan; berapa jabatan kepala atau wakil kepala daerah yang akan diperoleh; berapa dana yang akan disetor oleh kepala daerah yang didukungnya untuk Pemilu yang akan datang. Adalah wajar jika partai politik melakukan perhitungan tentang seberapa popular dan seberapa besar peluang calon yang mereka dukung atau tentang berapa daerah yang mereka targetkan untuk dimenangkan serta cara mencapainya. Akan tetapi, dengan kembali pada latar belakang mengapa Pikada secara langsung diselenggarakan, maka partai politik seharusnya dapat melepaskan diri dari cara pandang miopis yang menjebak dalam persoalan yang begitu pragmatis dan sempit. Partai politik harus mampu melihat dalam frame lebih luas bahwa Pilkada langsung adalah bagian dari proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kompetisi yang fair dan hadirnya calon-calon yang berkualitas akan melahirkan pemerintahan daerah yang baik dan pada akhirnya akan memupuk kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi dan peran partai politik di dalamnya.
Kedua, partai politik harus bersungguh-sungguh berusaha menawarkan pasangan calon terbaik, yaitu calon yang memiliki kapabilitas sekaligus integritas kepemimpinan. Pertimbangan pencalonan bukan semata-mata popularitas atau modal yang dimilikinya, meskipun keduanya memang penting dan tidak dapat diabaikan untuk mobilisasi perolehan suara. Namun, dengan orientasi politik jangka panjang, partai politik seharusnya mempertimbangkan dengan sangat serius kesesuaian visi, misi, dan program calon dengan platform partai, karena kinerja calon sebenarnya merupakan representatif partai politik dalam mengejawantahkan blueprint mereka tentang pemerintahan.
Ketiga, peran partai politik dalam memobilisasi dukungan harus mendewasakan pemilih melalui pilihan isu dan cara yang bijak, terutama terkait dengan kemungkinan konflik di tengah masyarakat. Masing-masing daerah mempunyai karakteristik tersendiri dan partai harus cerdas memilah mana yang layak dan tidak untuk ditawarkan kepada pemilih. Adalah tugas partai politik sebagai mesin pemenangan dalam Pilkada untuk memenangkan calonnya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti semua cara menjadi boleh untuk digunakan,meskipun memang aturan dan perangkat yang ada belum memadai.
Bila dilihat dari sudut pandang penyelenggraan pilkada langsung ini, maka akan terdapat pihak-pihak yang terlibat baik sebagai penyelenggara, penanggung jawab, peserta dan pemilih (voter) yang berbeda ketika pilkada berada ditangan DPRD. Berdasarkan undang-undang yang baru tentang pemerintahan daerah, pihak penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah. Dalam hal ini telah terjadi pemutusan sifat independen, mandiri dan sifat nasionalnya. KPUD ini bertanggung jawab pada DPRD. KPUD sebagai lembaga independen dan nasional diserahi tugas seperti penerimaan tugas otonom, hal ini menimbulkan pertanyaan dalam hubungan ketatanegaraan di Indonesia.
DPRD merupakan penanggung jawab Pilkada langsung karena pintu pertanggungjawaban penyelenggaraan berada ditangannya. Penganggaran dan pelaporan pelaksanaan pilkada langsung berada di DPRD. Sementara di lembaga ini terdapat fraksi yang pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan dari partai politik sesuai dengan jenjang hirarkhinya. Tentunya hal ini akan mengakibatkan adanya polarisasi DPRD sebagai lembaga penanggung jawab pilkada langsung di satu sisi dan sebagai kepanjangan partai politik yang melakukan penjaringan calon pasangan kepala daerah. Conflict of interest kemungkinan tidak bisa terhindarkan, dan bila terjadi tentu saja akan mengurangi kadar demokrasi lokal yang partisipatif yang baru mulai dibangun.
Elit-elit partai politik dalam hirakhi local, mereka ini merupakan partai politik yang memiliki 15 per sen kursi di DPRD. Parpol ini akan melakukan penjaringan calon pasangan kepala daerah, yang tentu saja memiliki kewenangan penuh untuk meloloskan atau tidak calon pasangan tadi. Hal ini dimungkinkan karena satu-satunya pintu bagi pencalonan pasangan kepala daerah hanya melalui mereka.
Dalam pilkada yang sebenarnya merupakan pemegang kedaulatan politik dalam aras lokal adalah rakyat pemilih. Hak Politik mereka akan sangat menentukan kemenangan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Jumlah pemilih yang menggunakan haknya secara sah yang mencapai 25 % akan mengantarkan pasangan calon menjadi elit eksekutif daerah. Lembaga eksekutif daerah juga berperan sebagai fasilitator dalam tahapan persiapan dan pelaksanaan pilkada langsung itu.
Dalam tahapan penyelenggaraan pilkada langsung, dalam UU No 32 tahun 2004 merunut pada tahapan pemilihan legislatif dan secara khusus pada pemilu presiden. Tahapan dimulai melalui berakhirnya masa jabatan kepala daerah, kemudian ke pendaftaran pemilih, pendaftaran calon peserta pilkada, kampanye dan pemungutan dan pengitungan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan calon terpilih sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di dalamnya termasuk sosialisasi tahapan-tahapan tadi, yang secara garis besar terbagi ke dalam dua tahapan yaitu tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan.
Derajat kepentingan tahapan ini tentunya berbeda-beda diantara faktor-faktor yang berkaitan dengan pilkada langsung ini, bagi pemilih sebagai warga negara yang baik maka tahap pendaftaran pemilih, partisipasi dalam kampanye, dan tahapan pemungutan suara menjadi tiga tahapan penting disamping peka terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh pihak penyelenggara. Bagi KPUD tentunya semua tahapan menjadi penting berkaitan dengan tugas dan kewajiban dalam mensuksekan tugasnya dalam pilkada langsung ini. Bagi DPRD tentunya juga sangat memperhatikan fungsi sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pilkada langsung ini terutama dalam penetapan anggaran, diferensiasi fungsi lembaga dan sebagai kepanjangan partai politik, juga dalam pemilihan panitia pengawas pemilu.
Peran partai politik sebagai penyandang fungsi sosialisasi, pendidikan, partisipasi dan rekrutmen politik merupakan media yang sangat efektif dalam memicu partisipasi politik rakyat daerah. Disamping itu, peran KPUD dalam sosialisasi tahapan pilkada langsung juga berpengaruh pada tingkat partisipasi politik dalamap pilkada langsung ini. Terpaan pendidikan politik dari berbagai agen dalam pilkada yang dilakukan dengan baik akan berdampak pada kontribusi partisipasi politik yang baik pula. Peran partai politik yang melakukan penjarinag calon pasangan dengan obyektif dan sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam menentukan pempinan politik daerah, akan menarik minat rakyat daerah untuk berperan serta.

Senin, 22 November 2010

Struktur Politik

Elite Politik
Teori elit bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2 kategori yang luas, yang mencakup:
1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah;
2. Sejumlah massa yang ditakdirkan untuk memerintah.
Asas-asas umum dalam teori elit politik:
1. Kekuasaan didistribusikan dengan tidak merata;
2. Pada hakikatnya, orang hanya dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik “penting” dan mereka yang tidak memilikinya;
3. Secara internal elit itu bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok;
4. Elit mengatur sendiri kelangsungan hidupnya (self perpetuating) dan keanggotaannya berasal dari satu lapisan masyarakat yang sangat terbatas (exclusive);
5. Karena keempat hal di atas, kelompok elit itu pada hakikatnya bersifat otonom, kebal terhadap gugatan dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya.
Dalam studi elit politik, kekuasaan diartikan sebagai probabilitas untuk mempengaruhi kebijakan dan kegiatan negara atau (dalam istilah teori sistem) probabilitas untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai secara otoritatif. Dalil yang harus senantiasa diingat dalam studi elit politik adalah bahwa kekuasaan didistribusikan dengan tidak merata. Dan Hanya sedikit sekali proporsi warga negara yang mampu secara langsung mempengaruhi kebijakan-kebijakan nasional. Penggambaran secara langsung mengenai distribusi kekuasaan ini dapat dilihat pada suatu model umum stratifikasi politik. Melalui model umum stratifikasi politik ini, sistem politik dapat dipandang berlapis-lapis atau dengan kata lain bahwa sistem politik tersebut berstratifikasi politik, yang terbagi dalam enam lapisan atau strata umum, yaitu (dari atas ke bawah): kelompok pembuat keputusan, kaum berpengaruh, aktivis, publik peminat politik, kaum partisipan, dan non partisipan. Dalam penelitian empiris, tidak cukup hanya mengetahui bahwa dalam setiap sistem politik ada yang berkuasa, akan tetapi yang terpenting adalah bahwa kita harus mengetahui siapa yang berkuasa itu.
Secara umum, ahli-ahli ilmu sosial telah menggunakan tiga strategi untuk mengidentifikasi elit politik, yaitu dengan :
1. Analisis posisi;
2. Analisis reputasi;
3. Analisis keputusan.

Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Kecuali dalam keadaan luar biasa, kelompok kepentingan tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintah secara langsung.
Bentuk artikulasi kepentingan yang umum disemua system politik adalah pengajuan permohonan secara individual kepada anggota dewan kota, parlemen, pejabat pemerintah atau kepada masyarakat tradisional kepada kepala desa atau kepala suku.
Jenis-jenis kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan dan basis dukungannya. Perbedaan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan politik, ekonomi dan social suatu bangsa.
Jenis-jenis kelompok kepentingan menurut Gabriel a. Almond adalah meliputi :
1. Kelompok Anomic
Adalah kelompok yang terbentuk diantara unsure-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika, dan karena tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur sehingga kelompok ini sering tumpang tindih dalam bemtuk partisipasi politik non konvensional.
2. Kelompok Non Assosiasional
Adalah kelompok yang termasuk kategori kelompok masyarakat awam (belum maju) dan tidak terorganisir dan kegiatannya bersifat komtemporer.
3. Kelompok Institusional
Adalah kelompok formal yang memiliki struktur, visi, misi, fungsi, tugas, serta sebagai artikulasi kepentingan.
4. Kelompok Assosiasional
Adalah kelompok yang terrbentuk dari masyarakat dengan fungsi untuk mengartikulasi kepentingan anggotanya kepada pemerintah atau perusahaan pemilik modal.
Tujuan didirikannya kelompok kepentingan ini diantaranya :
1. Untuk melindungi kepentingannya dari adanya dominasi dan penyelewengan pemerintah.
2. Untuk menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya.
3. Untuk menjadi wadah pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah.
4. Untuk menjadi wadah kajian dan analisis bagi aspek-aspek pembangunan nasional dalam semua bidang kehidupan.
Sifat kelompok kepentingan :
1. Independen
Artinya bahwa dalam menjalannya visi,, misi, tujuan, program, sasaran dll dilakukan secara bebas tanpa ada intervensi pihak lain.
2. Netral
Artinya bahwa dalam menjalankan eksistensinya tidak tergantung pada pihak lain.
3. Kritis
Adalah bahwa dalam menjalannya eksistensinya dilakukan dengan berdasarkan pada data, fakta dan analisis yang mendalam
4. Mandiri
Artinya bahwa dalam menjalankan eksistensinya dilakukan dengan konsep dari, oleh dan masyarakat itu senditi yang ditujuan bagi kesejahteraan masyarat luas.

Kelompok Birokrasi
Birokrasi diartikan sebagai kumpulan berbagai individu serta organisasi di dalam lembaga eksekutif yang membantu para pembuat keputusan dalam membuat kebijakan luar negeri. Anggota birokrasi terkadang adalah anggota kelompok pembuat keputusan sehingga sulit untuk memisahkan keduanya sehingga hal itulah yang menjadikan kelompok birokrasi sangat berperan dalam pembuatan kebijakan. Misalnya adalah adanya Departemen Pertahanan, saat kebijakan perang diambil atau kebijakan tentang perdagangan dibuat maka didalamnya pasti melibatkan departemen-departemen tersebut.
Mark menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen dari kelompok yang dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini berarti Mark menginginkan birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa.
Masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marxis pada tingkat tertentu menjalin hubungan yang sangat erat dengan kelas dominan dalam suatu negara. Di sinilah netral atau tidaknya suatu birokrasi sudah ramai di bahas. (Miftah Thoha; 1993).
Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili negara dengan kelompok pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi, menurut Hegel harus netral.
Dikotomi antara politik dan administrasi
Konsep lain tentang birokrasi adalah dari Wilson (1887) dan Goodnow (1901); keduanya menyatakan perlunya memisahkan antara administrasi dengan politik yang arahnya adalah menjaga agar masing-masing bertugas dan berfungsi sebagaimana mestinya. Administrasi sebagai lembaga implementasi kebijakan, sedang politik sebagai lembaga pembuat kebijakan. (Muhajir Darwin;1995)
Sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, birokrasi menurut Wilson dalam kaitan dengan ke-netralannya berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan administrasi/birokrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).(Miftah Thoha; 1993).

Massa
Media massa dianggap memiliki peranan yang unik dalam pembangunan politik, karena memiliki suatu instrumen teknologi yang independen, yang produknya dapat menjangkau ke tengah-tengah masyarakat dalam jumlah yang besar (Gerbner dalam McQail, 1987). Di samping itu, media massa menganggap diri sebagai perantara yang independen antara pemerintah dengan publik. Sebagian informasi, khususnya yang disampaikan oleh media massa akan melintasi garis-garis batas geografis dan kelas sosial. Namun dua karakteristik perubahan attitude akan membatasi dampak media tersebut.
Yang pertama adalah interpretasi informasi melalui media massa tentunya akan dilakukan oleh para pemimpin opini. Pemimpin opini itu sendiri akan amat dipengaruhi oleh hubungan antar personanya (jaringan sosialnya), yang menurut penelitian selama ini menunjukkan hasil yang konsisten, bahwa pengaruhnya lebih kuat dalam hal persuasi ketimbang media massa.
Yang kedua, sekalipun secara persis masih diperdebatkan, tapi dalam banyak hal media massa diakui sebagai saluran yang berkemampuan untuk menyampaikan lebih dari sekedar informasi politik. Artinya, media massa dapat dibuktikan mempunyai efek politik dalam suatu kelangsungan sistem politik suatu masyarakat. Kekuatan media, dalam kaitan ini, menurut Gurevitch dan Blumler (dalam Nasution, 1990) bersumber dalam tiga hal, yaitu struktural, psikologis, dan bersifat normatif.
Media massa mempunyai peran strategis dalam tatanan masyarakat. Media massa mampu membentuk suatu struktur masyarakat tertentu, mendukung suatu ideologi atau ajaran tertentu. Media hanyalah sebagai alat mengonstruksi kepentingan tertentu untuk meligitimasi kekuasaan, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun religius. Dari semua legitimasi kekuasaan tersebut, yang paling tampak dalam bidang politik serta ekonomi.
Kenyataan menunjukkan, media sering menjadi alat kekuasaan penguasa atau pengusaha. Oleh penguasa, media digunakan sebagai alat propaganda, penetrasi budaya, dan sosialisasi tentang penyelenggaraan kekuasaan politik, sehingga tidak heran kerja sama kepentingan politik sering terjadi antara elite politik dengan organisasi kepemilikan media massa. Kalaborasi ini untuk membangun struktur masyarakat, sebagaimana yang mereka inginkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan.
Kenyataan ini terjadi di seluruh dunia. Hanya perwujudannya berbeda. Di negara otariter atau negara junta militer kegiatan media massa di bawah todongan senjata. Sedangkan di negara demokratis pemilik media massa turut serta dalam penentuan kebijakan kekuasaan politik. Di Indonesia, misalnya, saat ini terjadi kolaborasi antara penyelenggaraan kekuasaan politik dengan pemilik media, sehingga tidak heran jika pemilik media massa menjadi pengurus partai politik tertentu. Bahkan pemilik media massa juga memegang kekuasaan politik, seperti menteri. Selain itu, media massa boleh menjadi pendukung suatu partai atau kadindat pemegang kekuasaan politik. Pesan yang disajikan cenderung menumbuhkan citra positif dari program partai atau kandidat.
Dalam konteks komunikasi hal ini dikenal sebagai agenda setting. Media massa mempunyai agenda tertentu dalam menyajikan pesan, baik dari sudut kuantitatif yaitu frekuensi dan durasi pemuatan, maupun dari sudut kualitatif, seperti, pendalaman dan penekanan materi pesan.

Fungsi-fungsi Politik

Sosialisasi Politik
Menurut Rachman ( 2006), Sosialisasi Politik berasal dari dua kata yaitu Sosialisasi dan Politik. Sosialisasi berarti pemasyarakatan dan Politik berarti urusan negara. Jadi secara etimologis Sosialisasi Politik adalah pemasyarakatan urusan negara. Urusan Negara yang dimaksud adalah semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan menurut Michael Rush dan Phillip Althoff, Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik juga sarana bagi suatu suatu generasi untuk mewariskan keyakinan-keyakinan politiknya kepada generasi sesudahnya. Sosialisasi politik ini merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan dan memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Sosialisasi politik mempunyai tujuan menumbuh kembangkan serta menguatkan sikap politik dikalangan masyarakat (penduduk) secara umum (menyeluruh), atau bagian-bagian dari penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administrative, judicial tertentu.
Menurut Hyman dalam buku panduan Rusnaini ( 2008) sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes dan dimediai oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik.
Sosialisasi Politik di berbagai Negara :
1. Di Negara Liberal
Sosialisasi politik di negara liberal merupakan salah satu sebagai pendidikan politik. Pendidikan politik adalah proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik.
2. Di Negara Totaliter
Sosialisasi politik di negara totaliter merupakan indoktrinasi politik. Indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaaan psikologis, dan latihan penuh disiplin, partai politik dalam sistem politik totaliter melaksanakan fungsi indoktinasi politik.
3. Di Negara Berkembang
Menurut Robert Le Vine dalam handout perkuliahan Rusnaini ( 2008:17) berpendapat bahwa “sosialisasi politik pada negara berkembang cenderung mempunyai relasi lebih dekat pada sistem-sistem lokal, kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem politik nasional”. Ada 3 faktor penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu :
a. Pertumbuhan pendidikan di negara-negara berkembang dapat melampui kapasitas mereka untuk memodernisasi kelompok tradisional lewat industrinalisasi dan pendidikan.
b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisional.
c. Mungkin pengaruh urbanisasi yang selalu dianggap sebgai saru kekuatan perkasa untuk mengembangkan nilai-nilai tradisional.
4. Di Masyarakat Primitif
Proses sosialisasi politik pada masyarakat primitif sangat bergantung pada kebiasaan dan tradisi masyarakatnya, dan berbeda pada tiap suku. Sosialisasi politik pada masyarakat primitif sangat tergantung pada kebiasaan dan tradisi masyarakatnya, dan berbeda pada tiap suku.

Rekruitment Politik
Rekruitment Politik adalah seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistim politik pada umumnya, dan pemerintahan secara khusus. Fungsi rekrutmen politik yang dimaksud adalah penyeleksian seseorang maupun sekelompok orang yang nantinya menduduki jabatan politik.
Rekruitmen politik adalah proses mencari anggota organisasi yang berbakat oleh organisasi politik/lembaga politik untuk dijadikan pengurus organisasi politik atau dicalonkan oleh organisasi sebagai anggota legislatif atau eksekutif baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Rekruitmen politik merupakan usaha yang dilakukan oleh organisasi politik/ lembaga politik untuk mengembangkan organisasi politik. Dalam mengembangkan organisasi politik, maka organisasi politik merekruit sejumlah anggota masyarakat yang berbakat dibidang politik untuk dijadikan anggota organisasi politik. Organisasi politik melakukan rekruitmen pengurus untuk kepentingan regenerasi pengurus, pemekaran pengurus atau pergantian pengurus. Pada sisi lain organisasi politik memilih sejumlah anggota organisasi dan pengurus organisasi untuk dicalonkan sebagai anggota lembaga legislatif atau anggota lembaga eksekutif baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Usaha organisasi politik dalam merekruit anggota organisasi menjadi anggota legislatif, dan eksekutif pada umumnya dilakukan melalui kaderisasi dan pencalonan.
Contoh Rekruitment Politik :
Salah satu partai politik di Indonesia merekrut individu-individu yang kompeten serta berpengalaman atau dianggap mampu dalam mengemban tugas kepartaian, serta menjunjung tinggi nilai nasionalis yang demikian kental pada tubuh partai ini. Atau dengan kata lain, mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Sehingga partai juga turut memperluas partisipasi politik.

Komunikasi Politik
Komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR
Menurut Mochtar Pabotinggi (1993): dalam praktek proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi. :
1. Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
2. Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
3. Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh: gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat.
4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang --monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.

Stratifikasi Politik
Penggambaran secara langsung mengenai distribusi kekuasaan ini dapat dilihat pada suatu model umum stratifikasi politik. Melalui model umum stratifikasi politik ini, sistem politik dapat dipandang berlapis-lapis atau dengan kata lain bahwa sistem politik tersebut berstratifikasi politik, yang terbagi dalam enam lapisan atau strata umum, yaitu (dari atas ke bawah): kelompok pembuat keputusan, kaum berpengaruh, aktivis, publik peminat politik, kaum partisipan, dan non partisipan. Dalam penelitian empiris, tidak cukup hanya mengetahui bahwa dalam setiap sistem politik ada yang berkuasa, akan tetapi yang terpenting adalah harus mengetahui siapa yang berkuasa itu.
Stratifikasi Politik (kebijakan) nasional Indonesia tersusun secara bertingkat yang terdiri atas :
1. Tingkat kebijakan puncak meliputi kebijakan tertinggi yang lingkupnya menyeluruh secara nasional, misal : penetapan UUD. Penentu tingkatan ini adalah MPR dengan produk kebijakan berupa UUD dengan ketetapan MPR.
2. Tingkat kebijakan umum adalah tingkat kebijakan dibawah tingkat kebijakan puncak yang sifatnya juga menyeluruh secara nasional. Penentu tingkatan ini adalah presiden. Produk dari presiden bersama DPR berupa UU atau perpu, sedangkan dari kewenangan presiden adalah peraturan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang.
3. Tingkat kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama pemerintah sebagai penjabaran terhadap kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang utama tersebut. Penentunya adalah menteri dengan produknya berupa surat edaran menteri.
4. Tingkat kebijakan teknis meliputi penggarisan dalam suatu sector bidang utama. Penentunya adalah pimpinan eselon pertama departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga non departemen.
5. Tingkat kebijakan di daerah meliputi kebijakan mengenai pelaksanaan pemerintah pusat di daerah atau kebijakan pemerintah daerah. Penentunya adalah gubernur dengan produknya adalah keputusan / intrusksi bupati/walikota untuk kabupaten/kotamadya.

Sistem Politik Indonesia Berdasarkan UUD 1945

Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara (termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Dalam penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara.
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Repub¬lik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menye¬butkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya dior¬ganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik.
Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 – 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.Undang-undang Dasar 1945
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur
kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan
antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga mengatur
hak dan kewajiban warga negara. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga tertinggi negara dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan pengadilan, pengawasan, pengaturan, memberi nasehat, dan fungsi adminsitrasi.
Saat ini UUD 1945 dalam proses amandemen, yang telah memasuki tahap amandemen keempat. Amandemen konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap tugas dan hubungan lembaga-lembaga negara.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sebelum Reformasi, MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara, yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pe¬mahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.
Perubahan tugas dan fungsi MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang sistem ketatanegaraan agar dapat diwujudkan secara optimal yang menganut sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal ini antara MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR.
Saat ini MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
• Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
• Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
• Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar
• Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
• Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
• Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersa¬maan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
• sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
• sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
• sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
• sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
• sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Anggota MPR tidak dipilih secara langsung oleh rakyat melainkan berasal dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat atau anggota DPR dan anggota DPD ex officio anggota MPR. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasif, anggaran, dan pengawasan.
Tugas dan wewenang DPR antara lain:
• Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
• Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
• Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
• Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
• Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
• Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD
• Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
• Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial
• Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
• Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
• Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi
• Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain
• Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
• Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
• Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Anggota DPR periode 2009–2014 berjumlah 560 orang. Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas dan pasangan kerja masing-masing:
• Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.
• Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
• Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan keamanan.
• Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
• Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal.
• Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah), dan badan usaha milik negara.
• Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan lingkungan.
• Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
• Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.
• Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.
• Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank.


Presiden/Wakil Presiden
Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:
• Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
• Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
• Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
• Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
• Menetapkan Peraturan Pemerintah
• Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
• Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
• Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
• Menyatakan keadaan bahaya.
• Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR
• Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
• Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
• Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
• Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU
• Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
• Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR
• Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung
• Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.
Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Sebelumnya, Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR adalah setara.

Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah pelaksana fungsi yudikatif, yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski penunjukan para hakim agung dilakukan Presiden.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
• Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
• Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
• Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi

Lembaga Tinggi Negara Lainnya
Lembaga tinggi negara lainnya adalah Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
DPA berfungsi untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Presiden yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara, termasuk dalam masalah politik, ekonomi, sosial budaya, dan militer. DPA juga dapat memberi nasehat atau saran atau rekomendasi terhadap masalah yang berkaitan dengan kepentingan negara. Anggota DPA diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden untuk masa bakti lima tahun.
Jumlah anggota DPA adalah 45 orang.

Pemerintah Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.
DPD memiliki fungsi:
• Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu
• Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.
Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah 132 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Tugas dan wewenang DPD antara lain:
• Mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPR kemudian mengundang DPD untuk membahas RUU tersebut.
• Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
• Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
• Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
• Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.
Anggota DPD juga memiliki hak menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.
Di tingkat daerah, sebuah provinsi dikepalai oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten /kotamadya dikepalai oleh seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 30 provinsi dan 360 kabupaten/kotamadya.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke Kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi.
Hubungan lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama halnya dengan hubungan antarlembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di tingkat daerah diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Jumat, 05 November 2010

Pendidikan Seks pada Anak

Pendidikan seks pada anak masih menjadi masalah yang kontroversial dikalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat menganggap bahwa seks merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan tetapi sebagian lagi menganggap bahwa pendidikan seks harus diberikan sedini mungkin untuk menghindari anak dari risiko negatif perilaku seksual. Karena dengan sendirinya anak akan tahu mengenai seksualitas dan akibat-akibatnya jika dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat serta kesiapan mental seseorang.
Pendidikan seks diberikan sebagai upaya pengajaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual dengan menanamkan moral, etika dan agama agar tidak terjadi penyimpangan. Apabila anak tidak diberikan pendidikan seks sedini mungkin di khawatirkan anak tersebut akan mencari jawaban dari orang lain atau sumber-sumber yang tidak bertanggungjawab yang mungkin informasinya bisa jadi salah yang pada akhirnya akan berakibat negatif pada perkembangan kehidupan anak tersebut.
Pendidikan seks harus sudah diberikan pada anak balita karena pada usia ini anak dapat dengan mudah menyerap apa yang diajarkan sehingga risiko negatif seks pada anak akan seminimum mungkin. Pendidikan seks yang diberikan pada anak ada aturan-aturan yang harus diperhatikan diantaranya penyesuaian materi dengan usia anak, anak dengan usia 5 tahun akan diberikan materi yang berbeda dengan anak usia 7 tahun, sehingga pemahaman anak terhadap materi yang diberikan sangat tinggi.
Membahas masalah seks pada anak memang tidak mudah tetapi dengan pemikiran masyarakat yang semakin maju dan terbuka tujuan dari pendidikan seks pada anak akan tercapai yaitu memberikan infomasi yang tepat mengenai masalah seksual.